Akademi Soft Skills Indonesia

Artikel

Artikel

MAMPUKAN TRAINING MENCIPTAKAN PERUBAHAN DI ORGANISASI?

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

Pendapat yang menjawab pertanyaan di atas, memang ada dua. Ada yang pesimis dan ada yang optimis. Tapi bagaimana praktik yang terjadi di lapangan sebenarnya; apakah perubahan itu benar-benar terjadi atau hanya klaim?

Training dapat dipastikan mampu menciptakan perubahan, tapi skalanya di level pribadi.  Perubahan di level ini memang beragam. Ada yang berubah di level pengetahuan saja, pengetahuan plus sikap, dan pengetahuan, sikap, lalu perilaku (cara kerja). Ini tergantung orang, materi, dan konteks lain.

Bahkan untuk materi soft skills tertentu, misalnya kolaborasi atau memimpin, proses perubahan tak jarang harus mengikuti hierarki Taxonomi Bloom. Dimulai dari Mengingat, Memahami, Mengaplikasikan, Menganalisis, Mengevaluasi, dan Menciptakan.

Perubahan di level ini pun dengan catatan. Saya kerap menyampaikan bahwa sejauh seseorang mencerna proses pembelajaran, pasti training ini akan menciptakan perubahan. Tapi jika kegiatan mencerna tersebut dimatikan, misalnya menolak atau menerima dengan setengah-setengah, ya sudah pasti perubahan sulit terjadi.

Mencerna berarti seseorang menerima dulu lalu mengolahnya di dalam diri dengan cara mengaitkan, menambah, menyesuaikan, memperdalam, dan seterusnya. Mencerna berarti seseorang menaruh emosi positif terhadap kegiatan training karena menyadari kegunaan atau kepentingannya. Emosi positif adalah cara untuk mengaktifkan gelombang Gamma dalam otak. Gamma merupakan aktivitas otak tercepat dalam menjalankan tugas kognitif.

Tanpa mencerna, ajaran kitab suci pun tak bisa mengubah manusia. Tanpa mencerna, materi yang dihafal di otak manusia akan hilang dalam sekejap. Praktik membuktikan bahwa materi pelajaran yang sudah dihafal susah-susah untuk ujian, hilang begitu saja ketika ujian sudah selesai.

Lalu kapan perubahan yang dihasilkan training itu terjadi pada tim atau kelompok? Untuk materi teknis dengan standar yang jelas, biasanya mudah terjadi sejauh proses training berjalan interaktif atau terjadi hubungan yang saling bergantung di antara mereka.

Namun untuk materi soft skills tertentu, komunikasi dan leadership misalnya, perubahan terjadi secara bertahap sejauh di dalam tim/kelompok tersebut ada kepemimpinan yang concerns terhadap perubahan. Tanpa kepemimpinan yang kuat, perubahan masih sulit diharapkan.

Bagaimana dengan perubahan organisasi? Perubahan yang berskala organisasi sangat variatif di awal. Ada yang berubah hanya di level pengetahuan, atau pengetahuan dan sikap, bahkan ada yang sampai ke perilaku di beberapa orang. Namun untuk menghasilkan perubahan yang masif dan maksimal, tentu training saja tidak cukup. Harus diikuti dengan regulasi, standar, atau manajemen kinerja yang kuat, sosok pemimpin, dan iklim yang mendukung.

Perubahan memang tidak selamanya menghasilkan perbaikan, tetapi semua perbaikan menuntut perubahan.

Artikel

Koneksi PM Gontor dan Bina Insan Mulia Cirebon

Sebuah kehormatan dan keberkahan bagi kami dikunjungi KH. Husnan Bey Fananie (Cucu Pendiri Pondok Modern Gontor dari bani KH. Ahmad Fanani, Sekretaris Badan Wakaf Pondok Modern Gontor, Mantan Dubes RI untuk Azerbaijan, Mantan Stafsus Menag RI Suryadarma Ali dan Gus Elbi Jihaad El-Banna Quthuby (cucu Pendiri Pondok Modern Gontor dari Bani KH. Ahmad Sahal) dan rombongan.

Gontor dan BINA INSAN MUlia memang punya kedekatan emosional dan historis. Saat lepas SD sebelum ke Lirboyo, saya pernah mondok di Gontor walaupun tidak lama. 5 putra-putri saya juga pernah nyantri di Gontor rata2 selama 1 semester (6 Bulan) lalu berpindah-pindah ke tiap pesantren lain rata-rata 6-12 bulan. Jadi saya ini pernah jadi santri dan walisantri Gontor, saya juga bersahabat baik dengan semua alumni Gontor yang kuliah di Al-Azhar Mesir, bahkan Manajer pesantren Bina Insan Mulia 1 dan 2 saat ini adalah alumni Gontor, didampingi para asatidz alumni salaf Lirboyo, Tegalrejo, Lasem, kaliwungu, babakan dll.

Sebetulnya, saya mengenal Kyai Husnan Bey Fanani semenjak 2009 saat itu beliau Staf Khusus Menteri Agama Suryadharma Ali dan saat itu perusahaan saya sebagai rekanan Kementerian Agama, bahkan saat pernikahan kedua beliau saya hadir, namun baru komunikasi lagi saat pilpres 2024. Kami kebetulan sama-sama pendukung Amin (Anis-Muhaimin). Sedangkan Gus Elby, ini silaturahim kedua kali ke Bina Insan Mulia.

Banyak yang kami bincangkan dalam petemuan kali ini, baik terkait politik, dunia pesantren dan sinergi antar kami ke depan. 5 jam berdiskusi terasa sangat pendek, jujur, berbincang dengan beliau mengingatkan saya dengan sosok Kyai Syukri Zarkasi yang saya kenal waktu itu: kritis, visioner, progresif, inklusif dan egaliter, bahkan pandangan politiknya juga fleksibel. Posisinya sebagai Sekertaris Badan Wakaf Gontor membawa harapan baru tentang Gontor di masa depan dengan slogan asal pendiri Gontor “Di atas dan untuk semua golongan” dan menjadi entitas pesantren yang inklusif dan adaptif dengan perkembangan zaman. Kelihatannya Gus Elby Juga se-frekwensi dengan Kyai Husnan Bey…

Lepas pertemuan selesai, tepat tengah malam seluruh rombongan kami hantar ziarah ke nenek moyang Gontor, yaitu Sunan Gunung Djati Cirebon. Gus Elby putra kyai Hasan Sahal yang memimpin tahlil, sedangkan Kyai Husnan Bay Fanani membacakan doa.

Artikel

HARAPAN DAN KETAKUTAN UNTUK KEKUATAN HATI

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

Ketika dikaitkan dengan dorongan berprestasi dan berkontribusi, maka kekuatan inti manusia terletak di hati, bukan di fisik atau di usia. Kiprah Sadiman, kakek dari Wonogiri yang berhasil mengubah hutan tandus menjadi subur, membuktikan itu.

Bertahun-tahun menanam pohon dengan pengorbanan hingga dianggap orang gila, tapi hasilnya mengubah nasib petani. Atas kontribusinya, para petani panen 2-3 kali setahun karena berlimpahnya air di daerah itu.

Berapa banyak kita jumpai orang yang usianya sudah senior, namun memiliki kehebatan yang mengalahkan orang muda. Misalnya dalam hal disiplin, kedekatan dengan Allah, atau pengorbanan. Saya pernah punya pimpinan, jam 7.00 pagi sudah sampai kantor untuk belajar bahasa Inggris, lalu pulang paling akhir untuk privat kajian agama lebih dulu.

Itulah gambaran kekuatan hati. Kekuatan itu kemudian menyuruh pikiran dan anggota badan lain untuk bergerak supaya menghasilkan prestasi atau kontribusi. Apa yang menjadi rahasia kekuatan hati? Ulama tasawuf banyak mengaitkan kekuatan hati dengan harapan dan ketakutan (al-khouf war roja’).

Ketika harapan dan ketakutan itu mendapatkan bimbingan dari ilmu dan dibuktikan dengan amal, maka keduanya akan menghasilkan dorongan berprestasi dan berkontribusi. Keduanya juga akan menghasilkan kehidupan yang progresif namun tetap terjaga keseimbangan (takwa).

Harapan adalah bahan bakar bagi jiwa. Tanpa makan, seseorang bisa bertahan dalam hitungan minggu. Tanpa minum, seseorang bisa bertahan dalam hitungan hari. Tanpa bernafas, seseorang akan bertahan dalam hitungan detik atau menit. Tapi jiwa yang tanpa harapan, jiwa itu mati seketika. Orang bunuh diri bukan karena tidak ada solusi, tapi karena jiwa yang mati.

Dari harapan lahirlah cita-cita, ambisi, emosi positif, strategi tindakan, pembelajaran, dan perjuangan. Walaupun hidup di kota tidak mudah, tetapi karena ada harapan di sana, masyarakat tetap berduyun-duyun ke kota.

Ketakutan juga sangat dibutuhkan untuk mendampingi harapan. Ketakutan mendorong seseorang untuk menghindari bahaya, berhati-hati dalam melangkah, dan mengantisipasi adanya hal-hal buruk di masa depan. Hanya rasa takut kepada Allah SWT yang mendorong seseorang untuk berpegang teguh pada prinsip.

Jadi, harapan adalah penggerak (gas) roda manusia, sedangkan ketakutan adalah penahan (rem). Jika keduanya dijalankan dengan keahlian, maka kemajuan dan keselamatan akan didapatkan. Tanpa keahlian, seseorang bisa terjebak dalam harapan palsu atau harapan kosong.

Nasihat Imam Ghazali dalam kitab Ihya membedakan antara harapan, tipuan kebodohan, dan khayalan. Jika seseorang menanam benih di atas tanah yang gersang lalu dibiarkan, maka mengharapkan panen adalah kebodohan. Jika seseorang menanam benih di atas tanah yang cocok, lalu ditinggalkan begitu, maka mengharapkan panen adalah khayalan. Harapan tetap membutuhkan ilmu dan amal.

Sama juga ketakutan. Tanpa ilmu dan amal, rasa takut akan menghantarkan seseorang menjadi manusia kerdil, minder, pesimis, dan tidak kreatif. Bahkan ada istilah “takut sukses” untuk orang yang tidak mau menjalankan idenya karena takut gagal. Sebab, semua jalan menuju sukses itu pasti ada gagal dimana-mana.

Semoga bermanfaat.

Artikel

MENDADAK JADI IBLIS

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

Hampir semua stasiun TV besar menyajikan program kriminal. Ini kemungkinannya hanya dua: bisa jadi acara itu banyak peminat atau bisa juga yang banyak malah peristiwa kriminal. Catatan kepolisian RI menyebut kejahatan di Indonesia tahun 2023 naik 4.3% hingga menembus 288 ribu kasus dibanding tahun 2022.

Kalau diamati, ternyata banyak pelaku kriminal yang sehari-hari justru orang normal atau orang baik-baik. Mereka mendadak melakukan tindak kejahatan kepada manusia lain padahal profesi atau pekerjaannya terhormat. Ada guru, dosen, istri kiai, pengasuh panti, pejabat, karyawan, polisi, ibu rumah tangga, suami, istri, dan seterusnya.

Bagaimana mungkin orang normal atau orang baik tiba-tiba menjadi pelaku kejahatan? Banyak penjelasan mengenai hal ini. Secara kecerdasan hati dapat dipahami bahwa ketika amarah menguasai hati dalam waktu yang lama atau dalam intensitas yang tinggi, maka kapasitas regulasi diri (self regulation) melemah. Bahkan tidak berfungsi karena kalah oleh amarah. Akibatnya, ia bertindak tanpa regulasi dari dalam.

Beberapa riset psikologi, seperti ditayangkan di www.psychologytoday, mengungkap bahwa 90% tindakan destruktif muncul dari kemarahan (anger) yang tak terkendali. Rasulullah SAW, sebagaimana dikutip Syaikh Nawawi Al-Bantany dalam Nashoihul Ibad, berpesan bahwa kemarahan menghilangkan akal sehat. Akal sehat merujuk pada dua pengertian, yaitu pikiran yang bernalar dengan benar atau hati yang mengeluarkan cahaya.

Artinya, kemarahan yang gagal dikuasai berhadapan dengan orang yang posisinya atau kekuatannya lebih kecil memungkinkan terjadinya tindakan destruktif.

Penjelasan lain mengenai hal ini sering dikaitkan dengan hasil uji coba pakar psikologi Philip Zimbardo dari Stanford University tahun 1970-an yang dikenal dengan The Lucifer Effect. Uji coba itu memberikan bukti lain bahwa orang yang awalnya baik atau baik-baik saja bisa melakukan kejahatan kemanusiaan ketika mendapatkan kekuasaan tanpa batas.

Sejarah manusia dipenuhi praktik yang membuktikan itu. Dengan kekuasaan di tangan, apalagi tanpa batas, manusia sangat mudah menjadi iblis bagi manusia lain. Di era modern ini, kita sering mendapatkan berita dimana pemerintah Korea Utara menghukum mati secara sadis pejabatnya atau warganya.

Sekalipun manusia sudah diberi hati dan pikiran untuk meng-guide perilaku, tetapi dalam kondisi tertentu, keduanya tak berfungsi. Dibutuhkan regulasi, training skill, dan bimbingan ilahi. Semoga bermanfaat.

Artikel

KERACUNAN MORAL, AWAS!

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialis

Tanpa status agama, manusia masih diberi kesempatan untuk hidup. Tapi tanpa moral, yang merupakan seruan inti agama,  hidup seseorang akan mati. Bisa masuk penjara, menerima hukuman sosial dan pergaulan, atau dihukum mati. Karena itu, menjadi orang bermoral sejatinya bukanlah pilihan.

Bahkan keniscayaan bermoral ini tidak saja berlaku untuk kehidupan pribadi, kehidupan sosial pun sama.  Karena itu, mengobarkan semangat dan gerakan untuk menjaga moral dalam masyarakat menjadi tugas bersama, bukan semata tugas agamawan. Kepastian hancurnya masyarakat diawali dari kepastian diamnya orang-orang yang bermoral.

Meski sedemikian kuat seruannya, tapi menjadi orang yang bermoral, menjadi pejuang moral, dan terkena keracunan moral adalah dua hal yang berbeda. Berbeda nilainya dan dampaknya bagi kehidupan pribadi dan sosial.

Keracunan moral adalah kondisi jiwa yang merasa sudah bermoral (feeling good only) dengan mencaci kesalahan orang lain atau mengoleksi kesalahan diri sendiri. Keracunan moral membuat upaya kita menjadi orang bermoral gagal karena dihentikan oleh perasaan yang merasa sudah bermoral dengan menemukan kesalahan.

Untuk sampai disebut keracunan berarti jumlahnya sudah melebihi batas normal sehingga membuat jiwa seperti orang keracunan. Lebih parah lagi apabila standar moralnya masih personal atau kelompok.

Keracunan moral tentu sangat berbeda dengan pemberi kritik atau koreksi. Kritik sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan, karena kekuasaan memang cenderung menyimpang (jika berlebihan). Demikian juga koreksi yang sangat dibutuhkan untuk hasil yang lebih bagus (kemajuan), atau bahkan hasil yang luar biasa (inovasi).

Pemberi kritik dan koreksi juga berpotensi terkena keracunan moral apabila sudah ngawur, gelap, dan berlebihan. Bahkan penyeru moral, seperti ustadz, kiai, pengamat, psikolog, trainer, motivator, leader, orang tua dan seterusnya juga sangat berpotensi terkena keracunan moral jika berlebihan atau tanpa ilmu (isrofana fi amrina).

Secara umum, keracunan moral memiliki ciri sebagai berikut:

  1. Menggunakan penghakiman dan klaim untuk melabeli
  2. Melemahnya empati seiring dengan menguatnya antipati
  3. Memanfaatkan ‘group thinking’ untuk memperkuat perasaan bermoral
  4. Tidak siap untuk membuka ruang keadilan, misalnya adu argumen, debat, atau dialog

Keracunan moral bisa bersumber dari pemenggalan potongan firman agama yang telah dimodifikasi, kutipan tokoh, atau folk wisdom (kearifan umum). Bagi yang terkena, dampaknya luas. Agama melarang perbuatan mencaci, berghibah, dzolim pada diri sendiri, atau bahkan melihat orang dengan pandangan yang merendahkan.

Secara karakter, keracunan moral semakin memperlemah karakter kita. Sebab, kekuatan karakter didapat dari kesediaan orang untuk menempa diri secara benar dalam menghadapi tantangan hidup, bukan dengan merasa baik setelah memberikan label negatif. Kesalahan orang lain atau kesalahan diri sendiri hanya akan bermanfaat apabila kita olah menjadi tindakan perbaikan atau perubahan (pejuang moral).

Semoga bermanfaat.

Artikel

5 KEGAGALAN TIM YANG MENGACAUKAN KINERJA

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist | www.akademisoftskills.com

Praktik membuktikan bahwa kinerja dan keandalan sebuah tim tidak ditentukan oleh kehebatan individu. Ibarat sebuah masakan, justru yang lebih menentukan adalah ramuan dan resep yang dijalankan. Kumpulan orang yang biasa-biasa dapat menghasilkan kinerja yang luar biasa sejauh mendapatkan sentuhan dari ramuan dan resep yang jitu.

Ramuan dan resep tim Anda dapat diolah dari 5 kegagalan tim berikut yang sering mengacaukan kinerja dan melemahkan keandalan.

Pertama, kegagalan arah dan tujuan (kiblat). Ketika tim gagal merumuskan apa yang ingin dicapai, kemana langkah bersama harus digerakkan, lalu di terminal (target-target kecil) mana saja harus berhenti, pasti lemah dan kacau tim itu. Kiblat adalah perajut kekuatan jama’ah yang memungkinkan semua orang berada dalam satu barisan.

Kiblat tidak saja disampaikan sekali, tetapi harus disampaikan dalam jumlah yang tak terhitung kali. Kalau bisa, penyampaian kiblat menggunakan berbagai cara. Misalnya, tujuan besar, tujuan antara, tujuan kecil, cerita, perbandingan, masalah yang menjadi perhatian, angka, renungan, opini, dan lain-lain.

Kedua, kegagalan sinergi kekuatan. Yang dibutuhkan sebuah tim bukan saja hubungan yang harmonis, tapi yang lebih penting lagi adalah hubungan yang sinergis. Sinergi berarti berpadunya berbagai kelebihan yang beragam menjadi kekuatan untuk melangkah ke kiblat yang sama. Di sinilah perlunya job description.

Ketiga, kegagalan mendefinisikan keahlian. Ketika tim gagal mendefinisikan keahlian yang sangat dibutuhkan agar tetap eksis dan maju, maka sudah bisa dipastikan keandalannya lemah. Hari ini, digital skill menjadi syarat dan rukun kerja-kerja profesional. Bayangkan jika kita masuk dalam tim yang tak satu pun menguasai digital skill, padahal layanannya mengharuskan itu? Berbagai riset mengungkap bahwa penguasaan digital skill menyumbang lebih dari 60% dari efektivitas kerja.

Keempat, kegagalan evaluasi dan umpan balik. Setiap tim membutuhkan inovasi, dan sumber inovasi yang paling bagus adalah evaluasi. Inovasi yang dasarnya dari melihat orang lain semata, kerapkali hanya menjadi pertunjukan teatrikal (seremoni) sesaat. Umpan balik juga sangat dibutuhkan oleh tim, bahkan menjadi salah satu cara untuk menghargai dan memotivasi tim, apabila disampaikan dengan cara yang baik dan benar. Kegagalan dalam mengevaluasi dan memberi umpan balik sangat mengacaukan kinerja.

Kelima, kegagalan menempatkan konflik di atas meja. Ketika tim gagal membahas konflik antarindividu di atas meja, yang bisa didiskusikan dan dicari solusinya, sudah pasti kinerjanya terganggu. Konflik antarpribadi masuk ke dalam hati lalu menggumpal menjadi kebencian, kegelapan, atau hilangnya perspektif yang sehat. Pelatihan komunikasi dan penanganan konflik, karena itu sangat penting bagi tim agar setiap orang memiliki skill untuk mengolah gesekan secara konstruktif.

Semoga bermanfaat.

Artikel

KENAPA PROTES DIRI ITU PENENTU KARAKTER PRIBADI?

Serial Kecerdasan Hati

KENAPA PROTES DIRI ITU PENENTU KARAKTER PRIBADI?

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

Sering ada pertanyaan, kenapa ketika di Singapore atau Finlandia, orang Indonesia bisa berdisiplin di ruang publik, tapi begitu sudah kembali, perilaku itu berganti? Seorang teman di Bandara protes. Kesaksiannya, orang habis umrah saja tidak bisa ngantri. Padahal di sana berdoa menjadi umrah yang mabrurah, dan ciri kemabruran adalah akhlak mulia di ruang publik.

Karakter kolektif di ruang publik, memang lebih mudah dibentuk oleh regulasi, manajemen, atau budaya dominan. Kita bisa dengan mudah menghadirkan sifat atau perilaku tertentu di ruang publik karena ikut mayoritas atau takluk pada regulasi.

Dengan sifatnya yang mudah dibentuk itu maka karakter kolektif di ruang publik terkadang tidak disebut sebagai karakter asli pribadi seseorang. Karakter asli dihasilkan dari upaya untuk mengukir sifat ke dalam diri sehingga menjadi jati diri. Karakter asli merupakan hasil dari pencapaian. Karakter kolektif lebih tepat untuk disebut sebagai karakter paksaan atau sebatas ciri khas sosial.

Darimana karakter asli pribadi terbentuk? Jika ada yang bilang bahwa karakter tersebut terbentuk dari pilihan-pilihan kecil sehari-hari, memang itu tidak salah. Pilihan kita dalam merespons keadaan mencerminkan karakter kita. Misalnya, ketika Anda dihadapkan pada kegagalan, di sana banyak pilihan. Pilihan yang sering Anda jalankan itulah karakter Anda.

Apakah pilihan itu muncul begitu saja atau bagaimana? Di sinilah rahasia protes diri. Protes diri adalah ketidakpuasan seseorang pada bagian tertentu dari dirinya yang menghasilkan kesadaran untuk perbaikan atau perubahan. Bagian tertentu itu bisa jadi sebuah sifat, akhlak hubungan, panggilan sosial, atau keahlian. Protes yang demikian akan menjadi penguat karakter.

Tampilnya Bung Karno, Panglima Soedirman, Bung Hatta, KH. Hasyim Asy’ari atau KH. Ahmad Dahlan karena protes pada dirinya apabila diam melihat keadaan. Karena itu, bila membaca konstruksi Imam Ghazali mengenai akhlak, seperti dalam Ihya, maka penolakan (al-ghadhob) menjadi material rohani yang sangat inti untuk menegakkan empat pilar akhlak, yaitu al-hikmah (kebijaksanaan), keberanian (asy-syaja’ah), pengendalian diri (iffah), dan adil.

Penolakan yang dikelola dengan baik dan proporsional, akan menghasilkan keberanian. Tidak disebut berkarakter jika keberanian hilang dari seseorang. Protes yang kuat ke dalam akan menghasilkan keberanian bertindak. Tapi jika penolakan itu berlebihan dan salah arah, maka hasilnya destruktif karena merusak ke dalam dan ke luar, seperti minder, inner conflict, perfeksionis yang tidak jelas, atau protes yang merusak.

Sebaliknya, bila seseorang kurang memiliki penolakan (ifrod), hasilnya pasrah pada keadaan atau menerima secara lemah, dan ini tidak menghasilkan karakter. Bahkan guru besar ilmu tasawuf, Ibnu Athoillah dalam al-Hikam, menyebut sebagai sumber kemaksiatan dan kelengahan. “Ashlu kulli ma’shiatin waghoflatin ar-ridlo anin nafs,” tulis beliau.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel

LIMA PILAR KEPERCAYAAN

Serial Kecerdasan Hati

LIMA PILAR KEPERCAYAAN

Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist

Dalam hubungan profesional di tingkat individu dan organisasi, kepercayaan (trust) menempati posisi yang paling menentukan. Bahkan melebih hubungan keluarga maupun pertemanan. Sudah biasa kita menyaksikan seseorang lebih memilih orang lain ketimbang keluarganya untuk urusan pekerjaan.

Bahkan dalam dunia kejahatan, kepercayaan mampu mengacaukan bangunan karakter manusia. Orang jahat pun ternyata membutuhkan orang yang terpercaya untuk mengelola hasil kejahatannya.

Berdasarkan hasil riset dan praktik, dibutuhkan lima pilar utama untuk membangun sebuah trust di hubungan profesional, baik di level pribadi maupun organisasi. Yaitu karakter, kompetensi, komunikasi, koneksi, dan sistem.

Pilar karakter menjadi utama. Karakter adalah upaya mengukir sifat-sifat di dalam diri yang menghasilkan karakteristik (ciri utama). Jujur, tanggung jawab, dan loyal adalah karakter yang sangat dibutuhkan dalam hubungan profesional.

Pilar kompetensi menjadi pasangan tak terpisahkan dengan karakter. Kepercayaan seseorang akan langsung menguat ketika melihat karya, portofolio, hasil kerja, atau berbagai bukti kompetensi. Kompetensi berarti seperangkat keahlian yang kita gunakan untuk menjalankan pekerjaan, profesi, atau peranan.

Pilar komunikasi menjadi penjelasan kompetensi dan karakter. Dibutuhkan cara komunikasi yang meyakinkan untuk membangun kepercayaan. Data, saluran, dan desain komunikasi sangat dibutuhkan.

Pilar koneksi menjadi penguat. Lingkungan, jaringan atau tautan dengan pihak-pihak yang sudah mendapatkan trust dari banyak orang akan sangat membantu.

Pilar sistem bagi organisasi sangat dibutuhkan. Kejelasan tata kelola dan manajemen informasi adalah kualitas yang sangat menentukan kredibilitas sebuah sistem.

Praktik sudah membutuhkan, hubungan yang dipenuhi trust akan menjadi hubungan yang positif sehingga terbebas dari konflik yang membebani. Lebih dari itu, hubungan juga menjadi lebih sinergis sehingga menghasilkan manfaat yang lebih riil.

Organisasi yang dipenuhi trust, jauh lebih produktif dan lebih kuat loyalitas orang-orangnya. Survei CEO global tahun 2016 oleh Pricewaterhouse Coopers (PwC) melaporkan,  55% CEO menyimpulkan bahwa kekurangan kepercayaan menjadi hambatan perkembangan organisasi.

 

 

 

 

Artikel

APA KESALAHAN KITA DALAM MENANGANI STRES?

APA KESALAHAN KITA DALAM MENANGANI STRES?

| Ubaydillah Anwar | Heart Intelligence & Soft Skills Specialist |

Stres adalah konsekuensi dari gerakan. Ibarat jiwa kita ini mesin, supaya gerakan itu muncul maka harus ada adu dorongan positif dan negatif untuk menghasilkan tegangan dan panas yang mengerakkan.

Pada hakikatnya, mesin pun mengalami stres ketika bergerak. Maka, persis seperti pesan petuah bijak, kalau Anda tidak pernah mengalami stres, berarti Anda belum pernah melakukan hal-hal yang sangat penting bagi hidup Anda.

Artinya, stres bukan pilihan bagi orang yang bergerak. Pilihan yang tersedia hanya pada respon konstruktif (ikhtiyar: memilih yang baik) atau respon destruktif (merusak). Al-Quran menegaskan, “(Allah) yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,” (QS. al-Muluk: 2).

Bagaimana respon konstruktif dapat kita ciptakan untuk menjadi manusia yang lebih baik amalnya (responnya)? Kita bisa mempraktikkan Formula 4M berikut:

M1: Menghindari (Avoid). “Orang pintar tahu apa yang diinginkan, tapi orang bijak paham apa yang harus dihindari,” demikian pesan Jack Ma dalam videonya. Terkadang harus bijak untuk merespon stres secara konstruktif.

M2: Menerima (Accept). Terimalah dengan baik apa yang tidak bisa engkau tolak, maka hidupmu akan bahagia. Jika engkau hidup di sini, tapi hatimu di sana, maka engkau stres. Demikian pesan bijak bertutur. Terkadang kita perlu menerima sebagai respon konstruktif terhadap stres.

M3: Mengalahkan (Alter). Banyak stresor (masalah) yang harus dikalahkan atau diselesaikan, sebab akan menimbulkan rentetan stres jika dibiarkan. Di kondisi dan posisi tertentu, menutup sumber bahaya itu harus diprioritaskan ketimbang membuka peluang untuk mendapatkan manfaat.

M4: Mengolah (Adopt). Sebagian besar inovasi dan kesuksesan manusia bersumber dari kemampuan mengolah tegangan dan panas dari stres sehingga mereka terus bergerak dengan mengeksekusi,  mengevaluasi, dan mengantisipasi.

Dalam praktiknya, persoalan hidup yang membikin kita stres tidak bisa dikelompokkan secara terpisah menurut formula di atas, karena satu sama lain saling terkait. Bisa jadi, dalam satu stresor terdapat bagian yang harus diterima, dihindari, dikalahkan dan diolah. Di sinilah dibutuhkan hati yang cerdas agar head (pikiran), hand (skill), dan heel (gerakan) kita terkelola dengan baik.

 

Artikel

5 Tips untuk Caleg Gagal Supaya Tidak Stres, Ubah Kegagalan Jadi Kebangkitan

5 Tips untuk Caleg Gagal Supaya Tidak Stres, Ubah Kegagalan Jadi Kebangkitan

Masyarakat Indonesia sangat adaptif dengan berbagai macam musibah. Mereka mencoba terus menjalani hidup meski peristiwa tak menyenangkan terjadi. Mereka sebisa mungkin membuat hidup berjalan sebiasa mungkin dengan modal sabar pasif dan syukur pasif alias cuek.

Itulah yang mungkin menjadi salah satu faktor penentu kenapa indeks kebahagiaan kita menurut BPS tergolong bagus. Padahal, indeks kesejahteraan dan ketertiban sosial rendah.

Kebahagiaan adalah perasaan subjektif dan ini sangat berkaitan dengan respons seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, termasuk bagaimana seseorang merespons musibah. Salah satu musibah yang sedang dialami banyak orang yang turun ke dunia politik saat ini adalah gagal nyaleg.

Ubah kegagalan jadi bermanfaat

Merespons kegagalan dengan legawa menerimanya memang baik untuk meredam kekecewaan. Namun, akan lebih baik lagi jika kegagalan itu direspons dengan tindakan generatif untuk mendapatkan manfaat dari kegagalan yang dialami. Ada 5 kunci penting untuk bisa menerapkan sikap ini. Berikut kelima kunci itu beserta penjelasannya.

1. Tsawab (Pahala)

Tsawab berarti upah atau ganjaran yang akan diterima seseorang di akhirat. Di balik musibah, ada tsawab. Hal ini tidak bisa dibuktikan kecuali dengan iman.

Syarat untuk mendapatkannya rida dengan segala kejadian dan takdir yang kita alami. Hal ini juga harus disertai dengan keyakinan bahwa kehendak Allah SWT terhadap diri kita bersifat mutlak. Kita berasal dan hanya akan kembali kepada-Nya.

Rida adalah berdamai dengan kenyataan karena Allah memerintahkan demikian. Kita harus mengakui bahwa semua yang terjadi atas izin Allah yang Maha Segalanya.

2. Magfirah (Pengampunan)

Pengampunan berarti kita dibebaskan dari konsekuensi buruk yang mestinya kita terima. Di balik musibah, ada pengampunan. Untuk mendapatkan itu, syaratnya evaluasi kesalahan, mengakui adanya kesalahan, berkomitmen untuk perbaikan, lalu action.

Inilah yang disebut taubat (kembali ke titik yang benar). Evaluasi adalah syarat pengampunan. Hasilnya langsung bisa kita rasakan di dunia dan di akhirat (jika taubat diterima).

3. Rif’atun (Kenaikan Derajat)

Di balik musibah, seseorang bisa dinaikkan derajatnya. Syaratnya adalah mengolah rasa tidak enak akibat musibah menjadi energi untuk berbuat sesuatu dan mengalihkan perhatian dari meratapi nasib.

Formula perubahan diri yang sudah banyak berhasil selalu terdiri atas: dissatisfation (ketidakpuasan atas keadaan sekarang) + action (tindakan) = desired island (tujuan nyata perubahan). Hampir semua kesuksesan diolah dari kegagalan yang dijadikan energi positif.

4. Thamisun (Keunggulan)

Musibah bisa menguji kualitas seseorang. Di balik musibah, ada peluang untuk menjadi manusia yang terpilih (unggul) secara karakter.

Karakter unggul di antaranya sabar, jujur, atau peduli. Jika manusia menjadikan musibah untuk pendidikan karakter, maka hasilnya pasti baik di dunia dan di akhirat, tentu dengan syarat melakukannya demi mendapatkan rida Allah.

5. Taslimun (Penyelamatan)

Musibah juga berarti cara Allah untuk menyampaikan pesan bahwa apa yang kita mau, belum tentu baik untuk kita, begitupun sebaliknya. Kita harus berhusnuzan (berprasangka baik) kepada Allah atas segala kejadian yang kita alami.

Husnuzan akan menghasilkan optimisme yang tentu harus dilanjutkan dengan aksi yang selaras dengan optimisme itu. Optimisme tanpa aksi, hanya akan menjadi tipuan hati.

Itulah lima makna musibah yang dapat kita respons secara konstruktif, supaya musibah yang kita alami tidak menghantarkan kita menjadi orang yang paling sengsara.

Tentu, respons konstruktif terhadap musibah gagal nyaleg tidak berarti menggugurkan tanggung jawab seseorang untuk menolak koreksi atas penyimpangan yang terjadi.

Dia harus tetap mengupayakan koreksi itu sebagai bagian dari tanggung jawab dia sebagai warga negara. Penolakan terhadap penyimpangan dan pelanggaran sangat dibutuhkan untuk menegakkan keadilan.***

Home
Profile
Shop
Contact Us